Peternakan ayam ras telah berkembang pesat di Indonesia selama beberapa dekade, mendominasi pasar domestik. Namun, ayam kampung dan produknya tetap eksis dan bahkan berkembang untuk memenuhi permintaan pasar yang terus stabil.
Pemeliharaan ayam kampung kini mengikuti pola manajemen peternakan ayam ras secara intensif. Dengan meningkatnya kesadaran akan keamanan pangan dan kelestarian lingkungan, pola pemeliharaan intensif diharapkan lebih ramah lingkungan. Pendekatan ini diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk, sekaligus mengatasi kelemahan baik dari pola pemeliharaan intensif maupun tradisional.
Sari Y. Hayanti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi dan M. Purba dari Balai Penelitian Ternak Bogor, dalam sebuah tinjauan, memberikan gambaran tentang karakteristik, manfaat, serta faktor-faktor pendukung utama dalam pemeliharaan ayam kampung secara intensif dan ramah lingkungan. Meskipun tinjauan ini berfokus pada perkembangan di Jambi, isi makalah tersebut juga relevan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan pemeliharaan ayam kampung di daerah lain di Indonesia.
Kedua penulis berpendapat bahwa pemeliharaan ayam kampung secara semi intensif dan intensif akan menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan dengan metode ekstensif atau tradisional. Pemeliharaan yang ramah lingkungan dipahami sebagai usaha untuk memanfaatkan pakan alami (organik) serta penggunaan tanaman obat tradisional sebagai pengganti obat-obatan berbahan anorganik. Dengan pola kombinasi ini, keamanan pangan lebih terjamin karena menghindari penggunaan antibiotik, hormon, dan bahan kimia lain yang sering menjadi masalah akibat residu pada produk ayam kampung. Selain itu, kinerja ayam kampung dan daya tahan tubuh terhadap penyakit juga dapat lebih optimal.
Menurut berbagai penelitian, pemeliharaan ayam kampung secara intensif dapat menghasilkan telur sekitar 105-151 butir per tahun, dibandingkan dengan hanya 30-60 butir pada pemeliharaan tradisional. Bobot telur per butir dapat mencapai 45,27 gram, dibandingkan dengan 37,5 gram per butir pada metode tradisional. Selain itu, bobot ayam pada usia 12 minggu bisa mencapai 708 gram, dibandingkan dengan 425,19 gram pada pemeliharaan tradisional.
Usaha peternakan ayam kampung yang optimal dapat dimulai dengan menggunakan bibit yang genetik induknya terseleksi. Bibit untuk dijadikan bakalan induk dapat dilihat dari sifat-sifat luarnya. Di antaranya, ayam jenis kaki hitam memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap penyakit dan sifat mengasuh anak yang tinggi. Jenis ayam kaki kuning memiliki daya tahan tinggi terhadap penyakit, pertumbuhannya relatif cepat dan masa sapih anak singkat. Keunggulan jenis ayam burik ialah daya tahan tinggi terhadap penyakit, masa sapih anak singkat dan produksi telur lebih banyak dibanding jenis kaki hitam dan kaki kuning.
Pemeliharaan ayam kampung secara intensif dapat dimulai dengan memelihara induk lebih dari 25 ekor agar dapat memberi tambahan pendapatan bagi keluarga peternak. Penyelenggaraan usaha keluarga ini terbuka bagi peran yang lebih besar kaum wanita yang lebih memiliki waktu lebih banyak di rumah.